Detektif Cilik

            Namaku Lina. Aku duduk di kelas 2 sekolah menengah pertama. Satu, aku bercita cita menjadi seorang detektif FBI atau CIA. Oleh karena itulah aku suka berlagak seorang detektif. Tapi pada suatu ketika, aku mengalami kejadian buruk dikelasku. Beberapa hari berturut – turut teman sekelasku kehilangan barangnya. Ada hp, uang, notebook, dan lain lain. Aku penasaran akan hal itu, siapakah tersangkanya?
            Hari itu, kami di wajibkan membawa notebook/laptop untuk presentasi. Presentasi berjalan dengan lancer, tetapi satu hal yang aneh. Dari sejumlah murid di kelas, ada satu yang kehilangan notebooknya. “huhuhu… notebookku hilang”ujar temanku chika menangis. “tadi siapa yang tidak sholat? Kita kan sholat semua” ujarku selayaknya detektif. “tadi aku lihat sih si dini gak sholat” ujar chika tsb.  “dini kamu tidak sholat kan? Kenapa notebook dia bisa hilang, kan kamu harus jaga kelas ini” ujarku bernada tinggi. “uhh??! Emm tadi aku diem disini, tapi langsung pergi ke perpus kok.” Ujar dini sedikit gugup. Mungkin dia kaget karena dituduh oleh semua murid. “huuhuhuhu… biar allah yang tahu siapa yang mencuri, dan akan diberikan akibatnya” ujar chika menangis sambil tabah. “sabar ya chikk” aku mengusap usap punggung chika.
            Saat pulang sekolah, aku duduk di koridor kelas. Kami sudah melaporkannya ke ruang guru atas kehilangan itu. Dan katanya pulang sekolah akan dilakukan pemeriksaan setiap kelasnya. Aku sedang mendengarkan lagu dengan heaadseatku, dan Dini melewati aku dengan tas notebooknya juga. Dia juga membawa notebook, dan aku juga begitu dengan tas yang dijinjing. Tapi ada yang aneh dengan tas notebooknya. Tas notebooknya begitu tebal dan terlihat berat. Mmmm jangan jangan, astagfiruloh  jangan soudzon ya lina jangan. Tapi itu terlihat aneh, tas yang menampakan notebook kanan dan kiri. Dia membawa notebook 2 ternyata!
            Aku menguntilnya sekarang, aku memakai sepeda mengikuti motor yang dia tumpangi. Dia tadi bilang mau les, jadi diizinkan oleh guru. Aku curiga sekali dengan dia. Aku mempercepat laju sepedaku, dan dia berhenti di depan counter elektronik. Ini bukan tempat les, dia mau menjual notebook. Chika bilang, dia hilang notebook bersama chargernya. Kulihat dia mengeluarkan sebuah notebook. Itu notebooknya chika! Soalnya bertanda ada stiker didepannya bertulisan ‘Chika’. Benar dugaan ku, dia yang mencurinya. Tidak kusangka, dia tersangkanya.  Aku memfoto adegan dia saat sedang menjualnya. Aneh sekali kan seorang murid smp menjual notebook, itu tidak lazim dan tidak biasa.
            Aku memfotonya, mencatan alamat elektronik itu, dan kembali ke sekolah. Untuk melaporkan ini. aku ngebut dengan osehan ini.
            Sesampainya di sekolah, aku berlari menuju ruang guru. Disana ada chika dan teman temanku lainnya. Aku memberitahu semuanya, semua kira aku hanya memfitnah, tapi setelah aku memberikan fotonya mereka semua percaya. “aku bersumpah bu, aku tadi menguntilnya sampai ke tempat dini menjualnya. Awalnya aku bingung dengan tas notebooknya yang begitu tebal, makanya aku mengikutinya” jelasku menghayati agar semua percaya kepadaku. “okey masalah ini kita tindak lanjuti besok pagi. Kalian semua boleh pulang” ujar bu guru wakil kepala sekolah.

***
            Kebesokannya, kami datang kesekolah dengan tenang. Dan chika pun mulai tenang, karena kemungkinan notebooknya bisa didapatnya kembali atau dibelikan yang baru oleh tersangka. Kami berakting dengan pura pura gak tau bahwa dini adalah tersangkanya. Kami lihat dini sedang duduk dibangkunya yang memainkan BBnya. “ayo kita CK yuk!” ujar chika memasukan handphonenya ke tas. “chiika bawa aja hp nya, nanti ilang lagi!” ujarku, menyepet dini. Kami pun pergi ke CK (cirle k)
            Aku, chika, dan Dini dipanggil ke ruang BP. Untuk mengurusi urusan ini. awalnya dini bingung mengapa dia dipanggil, aku dan chika pun pura pura bingung. Saat bu wakil kepsek memulai pembicaraan tentang pencurian itu, muka dini mulai pucat. Pasti dia ketakutan setengah mati. “apakah kau mencuri notebook punya chika, dini???” Tanya bu wakil kepsek. “emm… engga bu” jawab dini singkat. “jangan bohong!” ucap chika yang mulai emosi. “tenang chika” ujar bu wakil kepsek. “beneran bu engga” dini memohon. “mana ada maling mau ngaku ibuu!” chika emosi lagi. “tenang chika, kita selesaikan dengan baik baik” ucap bu wakil kepsek menenangkan chika. “aku minta maaf ya dini, ini untuk keadilannya. Aku punya bukti bahwa kamu tuh ngejual notebooknya chika di jalan jendral sudirman itu. Ini fotomu” aku menjelaskannya dengan baik baik, memberikan foto yang ada di hpku.
            Tak lama kemudian dini menangis. “apakah itu benar dini??” Tanya bu wakil kepsek. “iya buu, maafkan aku bu, maafkan aku chika. Aku lakukan itu tidak sadar… huhuhuhu” dini mulai menangis. “untuk apa uang itu din? Apa harus mencuri?” ujarku mengusap usap punggungnya. “aku gak punya uang jajan untuk seminggu kedepan, orangtuaku meninggalkan aku begitu saja(berpisah) di rumah nenekku” dia menangis semakin deras. “yaudah bagaimana dengan notebooknya chika?” tanyaku. “aku berjanji aku membelikannya yang baru, tapi bulan depan. Aku akan berusaha meminta kepada ayahku” pinta dini menghapus air matanya. “kalau masalah uang kita sebagai sahabatmu bisa membantumu, dan kita juga bisa menghibur kamu. Tapi jangan dengan cara mencuri dinn” ujar chika mulai prihatin dan tenang. “iya din, chika betul, kamu jangan jadi brokenhome gitu… kan ada kita” aku memeluk dini. Begitu juga chika yang sudah memaafkan dini. Kami semua berpelukan senang. Dini pun tersenyum.

            “yasudah kalian kembali ke kelas, ibu rasa masalahnya sudah beres.” Ujar ibu wakil kepsek menyuruh kami kembali ke kelas. Hati senang, aku sudah belajar menjadi detektif, dan menjadi saksi yang baik dalam suatu keadilan. Sejak itulah aku menyukai hukum. FBI or CIA! I’m coming!